If Heaven and Hell Never Exist



"Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepada-Nya?
Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau menyebut nama-Nya?"


Lagu Chrisye & Ahmad Dhani di atas membuat saya berpikir, apa sih tujuan kita beribadah? Apakah kita ingin berinvestasi untuk "masa depan" di akhirat kelak? Atau sekedar untuk ketenangan spiritual? Atau ada alasan yang lebih mulia, seperti ingin menciptakan dunia yang lebih baik dengan "bertanya" kepada Tuhan apa maksud dan tujuan kita dilahirkan di dunia?

Sebagian dari kita dididik untuk takut kepada neraka dan segala siksaannya. Hampir semua agama menggambarkan surga sebagai tujuan akhir hidup manusia dan neraka sebagai kumpulan manusia-manusia "terbuang". Sejak kecil, kita ditakut-takuti dengan cerita-cerita seram tentang neraka dan diiming-imingi cerita tentang keindahan surga agar kita mau beribadah.


Pola didikan seperti itu yang menghasilkan manusia-manusia dewasa yang terlalu fokus beribadah demi surga tapi sering melewatkan kebaikan-kebaikan yang lebih riil. Menurut saya ini egois, karena ibadah kita hanya terfokus untuk diri kita sendiri, tanpa berpikir apakah kita membawa manfaat bagi orang lain.

Sebagai negara yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, saya yakin sebagian besar orang Indonesia adalah orang yang gemar beribadah, atau at least menjalankan ibadah agamanya. Sayangnya, masih banyak perilaku orang Indonesia yang tidak mencerminkan orang yang gemar beribadah. Contoh sederhananya adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan dan menyisakan serta membuang-buang makanan. Ketika terjadi bencana, misal banjir, orang-orang yang sama menyalahkan dan menghujat pemerintah, tidak jarang sampai pada tahap memfitnah. Lagi-lagi bukan perilaku yang pantas untuk orang yang mengaku beragama. Sudah lupa kah kita bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman?


Ada lagi sekelompok orang yang lebih brutal. Kelompok yang merasa sudah banyak beribadah serta merasa mempunyai pemahaman agama yang baik sehingga berpendapat mereka berhak untuk mengkafir-kafirkan orang yang ibadahnya tidak sebanyak mereka atau orang yang mempunyai keyakinan berbeda. Bahkan ada yang sampai menghakimi kaum mana yang pantas masuk surga dan kaum mana yang akan dibuang ke neraka. Kalaupun memang beberapa kelompok dianggap kafir oleh kelompok lainnya, tidak bisa kah itu hanya disimpan dalam hati? Tidak perlu menuding orang lain dan melukai perasaan orang lain.


Menurut saya, ibadah adalah hubungan yang paling pribadi antara manusia dan Tuhan-nya. Karena bersifat pribadi, hanya Tuhan-lah yang berhak menentukan apakah ibadah kita sungguh-sungguh berkenan.


Menurut saya, Tuhan ada di mana-mana. Ada pada alam dan sesama kita. Semua perbuatan baik adalah ibadah. Hal-hal sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak menyisakan makanan, serta menghargai orang lain juga termasuk ibadah. Sebagai manusia yang banyak memiliki keterbatasan, hanya hal-hal itu yang bisa saya lakukan. Saya belum bisa menjadi orang yang membuat inovasi atau membuat kebijakan yang memberi dampak bagi banyak orang.

Jujur saya bukan orang yang sangat taat beragama atau mempunyai pengetahuan yang luas tentang agama. Saya beribadah untuk ketentraman hati, memberi sugesti positif pada diri sendiri, serta untuk mengucapkan terima kasih atas semua yang ada pada saya saat ini. Saya pun tidak tahu apakah cara beribadah saya ini bisa diterima oleh Tuhan.

Saya masih kagum sekaligus heran kepada negara-negara barat yang banyak penduduknya tidak beribadah atau bahkan tidak memeluk agama, tapi tindakannya jauh lebih mulia dari orang-orang yang beragama. Mereka lebih menghargai alam dan sesama manusia. Tidak korupsi, tidak membuang sampah sembarangan, dan tidak mencampuri urusan orang lain (termasuk cara beribadahnya, apalagi mengkafir-kafirkan orang lain). Mereka fokus untuk hal-hal yang riil, seperti pendidikan, teknologi, serta solusi untuk masalah-masalah sosial. Tidak heran kalau negara mereka berkembang lebih pesat dari negara kita.


Sebagai orang beragama, seharusnya kita malu apabila ada orang yang tidak beragama tapi akhlaknya lebih baik daripada kita. Alangkah baiknya kalau ibadah kita kepada Tuhan diimbangi dengan ibadah kepada alam dan sesama. Sehingga kita tidak perlu berpikir dua kali jika ada yang bertanya "Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepada-Nya?".



Tschüss!
Deine Kimmie



NB: Saya jadi ingat suatu ketika pernah membaca artikel wawancara dengan Cak Nun dengan judul Gusti Allah Tidak Ndeso. Saya 100% setuju dengan ucapan Cak Nun. Berikut kutipan artikelnya:

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong dengan pertanyaan beruntun. 
“Cak,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu : 1. Pergi ke masjid untuk shalat Jumat. 2. Mengantar pacar berenang. 3. atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?”
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan….!!”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak,” katanya lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi. Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.
 
Kata Tuhan : Kalau engkau menolong orang sakit, Aku-lah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Aku-lah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Aku-lah yang kelaparan itu. 
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Shalat memang wajib, tapi untuk Allah dan tidak dipamerkan kepada orang lain. 
Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya : kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. 
Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang. 
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Agama mengajarkan pada kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. 
Bila kita cuma puasa, shalat, baca Al-Quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, datang ke pura, menurut saya kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, menyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama. Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan hanya dari kesalehan personalnya, melainkan juga kesalehan sosial. 
Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. 
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan!”

Comments

  1. The biggest game yet to be played at the - DRMCD
    We have all 남양주 출장안마 the games 경산 출장마사지 available, In the 상주 출장안마 Sega 대구광역 출장샵 Genesis games you 제주도 출장샵 could play at any time. The Sega Master System was the original,

    ReplyDelete

Post a Comment

write your comment here...

Popular Posts